Laits Bin Sa’ad (Fakih dari Mesir yang Dermawan)

ASYFA.Com (Sergai) – Nama lengkapnya Abu Harits Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman. Lahir pada bulan Sya’ban tahun 94 H atau 713 M di kampung Qalqasyandah, sekitar sepuluh kilometer dari Kairo, Mesir. Kehidupannya yang dinamis membuat Laits bin Sa’ad sudah sangat dikenal sejak dini. Dia hidup di dua kekuasaan; pada masa kekuasaan Bani Umayah dan kekhalifahan Abbasyiah.
Sejak masih kanak-kanak Laits bin Sa’ad sudah hafal Alquran. Di samping itu juga sudah banyak menghafal hadis dan beberapa syair Arab. Waktu mudanya banyak dihabiskan belajar di masjid agung Kota Al-Fusthath (Masjid Amru bin Al-Ash). Di masjid itulah para pencari ilmu dapat mempelajari berbagai jenis pengetahuan; seperti tafsir Alqur’an, ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, sastra, sejarah, dan lain sebagainya. Ubaidillah bin Ja’far, Ja’far bin Rabiah, Harist bin Yazid dan beberapa tokoh ternama lainnya asal Mesir menyebutkan Laits bin Sa’ad sebagai orang yang memiliki intelektualitas yang mumpuni. Mereka telah menyaksikan keutaamaan dan kecerdasan Laits bin Sa’ad yang sudah terlihat di usianya yang masih sangat belia.
Untuk memperdalam ilmu agamanya, Laits bin Sa’ad melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai wilayah seperti Irak, Madinah, Makkah dan Syam. Kala itu, dia masih berumur 20 tahun. Di ketiga kota ini telah berkumpul para alim ulama dan penuntut ilmu. Rutinitas yang dilakukannya menghadiri majlis-majlis pengetahuan di kota Mekkah dan di Masjid Nabawi. Dalam pada itu, orang yang pertama kali ditemuinya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, dikenal sebagai ulama pertama yang menulis hadis Rasulullah. Pertemuan Laits bin Sa’ad dengannya dilakukan secara teratur dan mereka sering beradu argumentasi. Selain itu, Nafiasisten Abdullah bin Umar RA juga menjadi tempat belajar Laits bin Sa’ad. Nafi merasa cocok dengannya. Pertemuan di antara keduanya sering terjadi sehingga tak salah jika selama di Hijaz Laits bin Sa’ad selalu menemani Nafi. Laits bin Sa’ad juga mendapat ilmu agama dari Atha bin Abi Rabah yang merupakan Mufti dan Ahli Hukum Makkah.Perjalanan menuntut ilmu inilah kemudian membentuk beliau menjadi seorang terpandang serta menunjukkan kemampuan keilmuannya.
Sekembali dari rihlah ilmiahnya itu, Laits bin Sa’ad mendapat banyak perhatian dari masyarakat maupun pemerintah. Beliau tumbuh menjadi seorang yang sangat terpandang dan berpengaruh. Ketenarannya sampai ditelinga para khalifah. Tidak jarang beliau diundang ke istana untuk menyelesaikan beragam permasalahan. Beliau juga pernah ditawari jabatan Gubernur Mesir, tapi ia menolaknya. Kemudian dia rekomendasikan orang lain untuk mengisi posisi tersebut.
Menurut seorang kritisi hadis, Al-Mizzi, guru Laits bin Sa’ad dari kalangan tabi’in cukup banyak. Sedangkan murid-muridnya diperkirakan mencapai 70 orang. Sebagian besar dari muridnya banyak menjadi ulama terkemuka dan sekaligus menjadi guru ulama besar. Seperti Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahab kelak menjadi guru-guru Imam Ahmad. Yahya bin Bukair menjadi guru Imam al-Bukhari. Sementara, Yahya bin Yahya At-Tamimi menjadi guru Imam Muslim.
Dalam bidang hadis, menurut Imam Ahmad, Imam Syafii, Sufyan ats-Tsauri, dan kebanyakan ulama hadis lainnya menganggap Imam al-Laits tsiqah (terpercaya). Imam Bukhari dan Imam Muslim banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Sehingga para ulama telah menetapkan, sanad paling sahih di Mesir adalah periwayatan Laits bin Saad, yang diambil dari Yazid bin Abi Habib.
Imam Laits bin Sa’ad dikenal sebagai satu di antara mujtahid besar di bidang fikih yang pemikirannya sangat cemerlang. “Ilmu para tabi’in yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh Al-Laits,” tutur Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang fakih dan kritisi hadis kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya. Selain itu dia adalah cendikiawan yang teguh dalam memegang prinsip. Laits bin Sa’ad sempat dibawa kehadapan Khalifah Al-Ma’mun dan kemudian dipenjara. Pasalnya, ia tidak mau memenuhi tuntutan Khalifah Al-Ma’mun untuk menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk. Laits bin Sa’ad dibebaskan ketika Ja’far Al-Mutawakkil naik takhta.
Karena kedalaman ilmunya, Imam Malik bahkan sering melakukan surat menyurat dengan Imam Laits bin Sa’ad. Dalam waktu-waktu di Madinah, mereka kerap membuka ruang wacana dan sering berdiskusi. Terjalinlah rasa saling hormat dan mencintai di antara keduanya. Ia menyambutnya ketika Laits datang. Terkait dengan intelektualitasnya ini, An-Nawawi berkomentar, “Semua orang sepakat akan keagungan Laits bin Sa’ad; termasuk sifat amanahnya dan ketinggian derajatnya dalam fikih dan hadis.” Imam Syafi’i, bahkan menilai Laits bin Sa’ad lebih fakih daripada Imam Malik. Hanya saja, kata Imam asy-Syafi’i, murid-muridnya kurang visioner sehingga lupa membukukan pemikirannya. Akhirnya mazhab Laits bin Sa’ad sirna ditelan masa.
Sekalipun tidak menulis buku, pemikiran Imam Laits bin Sa’ad sebenarnya masih bisa ditelusuri hingga kini. Sebab, banyak ulama fikih dari generasi sesudahnya selalu merujuk pendapatnya. Dalam kitab-kitab mereka terdapat petikan pemikiran Laits bin Sa’ad; seperti Al-Mughni (kitab fikih mazhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah), Al-Muhalla (kitab fikih mazhab Azh-Zhahiri yang dikarang oleh Ibnu Hazm), dan Bidayah Al-Mujtahid (kitab fikih mazhab Maliki karya Ibnu Rusyd).
Selain seorang ilmuwan besar, Laits bin Sa’ad dianugerahkan harta yang melimpah. Ia merupakan pengusaha yang sangat berhasil dan sekaligus dermawan. Beliau menggunakan kekayaannya untuk membiayai kehidupan para fakir miksin. Apabila saat musim dingin tiba, beliau mendistribusikan makanan berupa madu, kurma dan daging sapi kepada masyarakat. Sementara di musim panas, beliau menyedekahkan biji-bijian dan kebutuhan pokok lainnya yang disesuaikan dengan kondisi cuaca. Laits bin Sa’ad setiap harinya memberi sedekah kepada 300 orang miskin. Yang menakjubkan, meski menjadi wirausaha sukses Laits bin Sa’ad tidak pernah membayar zakat. Konon setiap tahun omset perdagangan Laits bin Sa’ad lebih dari 80.000 dinar (sekitar Rp 240 miliar/tahun). Namun, sebelum mencapai satu tahun (haul), hartanya sudah habis diinfakkan dan disedekahkan. Inilah yang menyebabkan beliau tidak sempat mengeluarkan zakat.
Laits bin Sa’ad juga gemar bersedekah kepada para ulama. Suatu hari di tahun 170 H, Abdullah bin Lahi’ah tertimpa musibah. Rumah dan buku-bukunya habis dilahap api. Mengetahui peristiwa tersebut, keesokan harinya Laits bin Sa’ad langsung mengirim 1000 dinar untuk Ibnu Lahi’ah. Imam Malik pernah menulis surat kepada Laits bin Sa’ad bahwa ia memiliki utang yang harus dilunasi. Segera Laits bin Sa’ad mengirim uang kepada Imam Malik. Uang Cuma-Cuma itu sebanyak 500 dinar atau sekitar Rp 1,5 miliar.
Setiap tahun ia biasa mengirim hadiah sebanyak 100 dinar (sekitar Rp 300 juta) untuk Imam Malik yang merupakan kawan baiknya. Ulama lain yang dikirimnya uang adalah Ibnu Luhai’ah sebesar 3000 dinar (Rp 9 miliyar) dan Qadhi Manshur bin Ammar sebanyak 1000 dinar (Rp 3 miliyar). Pernah didengarnya Khalifah Harun ar-Rasyid memberi Imam Malik uang sebanyak 500 dinar (sekitar Rp 1,5 miliar). Mengetahui hal tersebut, Imam Laits bin Sa’ad tidak mau kalah. Ia kembali memberi hadiah Imam Malik berupa uang dua kali lipat, yakni 1.000 dinar (sekitar Rp 3 miliar) 
Ulama besar dan dermawan dari Mesir ini wafat sekitar tahun 175 H. Terkait wafatnya Laits bin Sa’ad, Imam Syafi’i pernah berdiri di sisi kuburannya seraya berkata, “Demi Allah wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang utama, yaitu ilmu, amal, zuhud, dan kedermawanan.” (Khairul Hakim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *